Goresan KENANGA

Goresan KENANGA

creation without limits

Hot

Senin, 19 Maret 2012

Mivo TV

Senin, Maret 19, 2012 0
Silahakan Klik n Selamat Menonton......
Read More

Jumat, 14 Oktober 2011

Pendidikan Karakter

Jumat, Oktober 14, 2011 0

Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Dalam arti yang luas karakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:
1. responsibility (tanggung jawab);
2. respect (rasa hormat);
3. fairness (keadilan);
4. courage (keberanian);
5. honesty (kejujuran);
6. citizenship (kewarganegaraan);
7. self-discipline (disiplin diri);
8. caring (peduli), dan
9. perseverance (ketekunan).

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Read More

Sabtu, 23 Juli 2011

ILIR ILIR

Sabtu, Juli 23, 2011 0

Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo…

Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,?
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
Read More

Minggu, 03 Juli 2011

Bayi dan Dunia Bermain

Minggu, Juli 03, 2011 0
Dunia anak adalah dunia bermain, bahkan sejak mereka mulai lahir. Mereka melihat aneka objek yang bergerak dengan antusias, menendang-nendang mainan atau selimutnya tanpa bosan, mereka belajar untuk menelungkup dengan pantang menyerah, mereka merasakan berbagai tekstur, mencium berbagai aroma, mendengar berbagai suara, dan menantang kemampuan fisik mereka. Bayi dibawah usia 3 bulan sudah mulai bereksplorasi melalui kegiatan bermain. Meskipun tampak sangat sederhana, kegiatan bayi kecil ini sebenarnya tidak hanya makan dan menangis namun ada hal lain yaitu tatapan mata, reflek menggenggam, dan sentuhan pengasuh
Bayi diatas 3 bulan memiliki kegiatan yang lebih terarah. Keingintahuannya lebih terarah misalnya dengan mencoba menoleh kearah suara yang ia dengar. Pada usia ini, bayi akan senang memainkan tangannya, mengenali wajah orang terdekat, dan juga mengamati mainan. Acara mandipun bisa menjadi satu hal yang paling menyenangkan seperti memukul-mukul air atau menaruh mainan didalam bak mandi.
Diatas 6 bulan umumnya bayi sudah dapat duduk sendiri tanpa dibantu, dapat merangkak, mengoceh, memegang benda-benda kecil dengan menggunakan ibu jari dan telunjuknya, serta mengajaknya bermain cilukba. Boneka yang lembut, buku sederhana dapat menjadi pilihan untuk bayi seusia ini.
Usia 10 bulan keatas bayi akan mulai belajar berdiri dan mencoba untuk berjalan. Pada usia ini beberapa alat rumah tangga bisa dijadikan mainan seperti baskom, mangkok kecil, dan lainnya dengan tidak melupakan unsur keamanannya, mainan susun atau tumpuk dapat menjadi pilihan. Matanya berbinar ketika melihat hal baru, tawanyapun menggelak saat menguasai keterampilan baru. Otaknya demikian sibuk memainkan berbagai fakta baru yang ia temukan dan keterampilan baru yang ia dapati. Inilah keajaiban sensorimotor dan practice play yang dilakukan oleh bayi. Untuk bayi yang cepat bosan dengan mainan memang seringkali menuntut orangtua atau pengasuhnya untuk lebih kreatif ketika mengajak bayi bermain. Seiring dengan bertambahnya usia bayi aktivitasnyapun makin meningkat maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan bermain :
1.   Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
2.   Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak    ada yang menyuruh ataupun memaksa.
3.   Menyenangkan dan dinikmati.
4.   Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
5.   Dilakukan secara aktif dan sadar.
Ketika bermain dengan bayi yang paling penting adalah kesesuaian. Artinya, mainan yang diberikan harus sesuai dengan usianya karena mainan yang terlalu mudah dimainkan akan membuat bayi cepat bosan atau bila mainan yang diberikan mempunyai tingkat kesulitan yang lebih dari seusianya tentu akan membuat bayi frustrasi. Selain itu kesesuaian berkaitan erat juga dengan keselamatan. Dunia bermain bayi adalah dunia belajar bayi, permainan menjadi objek belajar setahap demi setahap sesuai dengan usianya, dari permainan itulah bayi mulai mengerti dan dapat dilihat tahap perkembangannya melalui respon terhadap dunia sekelilingnya. Maka menjadi kewaspadaan orangtua terhadap dunia bermain dengan mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi.
Read More

Jumat, 17 Juni 2011

KEJAWEN ; Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan

Jumat, Juni 17, 2011 0
Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya.
Read More